Analisis Komparatif Sistem GMP: Kosmetika (CPKB) vs. Pangan (CPPOB)
Pendahuluan
Analisa ini menyajikan analisis mendalam mengenai perbandingan antara sistem Good Manufacturing Practices (GMP) yang diterapkan pada industri kosmetika dan industri pangan di Indonesia. Secara fundamental, GMP adalah pedoman universal yang bertujuan untuk menjamin produk diproduksi secara konsisten dan terkendali sesuai dengan standar kualitas yang ketat. Meskipun demikian, analisis ini menyimpulkan bahwa sistem GMP pada kosmetika, yang dikenal sebagai Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik (CPKB), dan pada pangan, yang disebut Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB), tidaklah sama. Keduanya memiliki landasan filosofi, fokus risiko, dan persyaratan teknis yang berbeda secara signifikan, yang disesuaikan dengan karakteristik dan tujuan penggunaan masing-masing produk.
Perbedaan paling mendasar terletak pada fokus risiko. CPPOB dirancang untuk mencegah bahaya internal, seperti kontaminasi mikroba, kimia, atau fisik yang dapat membahayakan kesehatan saat produk dikonsumsi. Sebaliknya, CPKB berfokus pada bahaya eksternal atau topikal, seperti iritasi, alergi, atau ketidaksesuaian produk dengan klaim yang dijanjikan saat digunakan pada permukaan tubuh. Selain itu, CPPOB memiliki hubungan yang erat dan kausal dengan sistem Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), di mana GMP berfungsi sebagai prasyarat wajib. Hubungan ini tidak ditemukan secara eksplisit dalam kerangka regulasi CPKB.
Meskipun demikian, keduanya berbagi prinsip inti yang sama, termasuk pentingnya sistem manajemen mutu, higiene personalia, bangunan dan fasilitas yang memadai, serta dokumentasi yang lengkap untuk menjamin ketertelusuran dan konsistensi produk. Laporan ini menguraikan perbedaan dan persamaan tersebut secara terperinci, memberikan wawasan strategis bagi para pelaku industri untuk memahami kompleksitas kepatuhan regulasi di kedua sektor yang diatur secara terpisah namun terpusat di bawah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Pendahuluan: Memahami Konsep GMP dalam Konteks Nasional
Good Manufacturing Practices (GMP) merupakan pedoman global dan sistem jaminan kualitas yang mengatur produksi barang, khususnya di industri yang produknya dapat memengaruhi kesehatan dan keselamatan konsumen. Pedoman ini mencakup seluruh aspek manufaktur, mulai dari bahan baku, proses produksi, pengemasan, hingga penyimpanan dan pelabelan. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa setiap produk yang dihasilkan memenuhi standar mutu, keamanan, dan konsistensi yang telah ditetapkan.
Di Indonesia, penerapan GMP diwujudkan dalam pedoman yang spesifik untuk setiap sektor industri. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah lembaga pemerintah yang bertanggung jawab dalam mengawasi dan menerbitkan regulasi ini. Untuk industri pangan, GMP diimplementasikan melalui pedoman yang dikenal sebagai Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) atau Cara Pembuatan Makanan yang Baik (CPMB) dan secara lebih luas sebagai Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB). Sementara itu, untuk industri kosmetika, pedoman yang berlaku adalah Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik (CPKB). Selain itu, terdapat pula pedoman terpisah untuk obat-obatan tradisional, yakni Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB).
Laporan ini dirancang untuk melampaui definisi umum dan mengeksplorasi secara mendalam perbedaan serta persamaan antara CPKB dan CPPOB. Analisis akan membedah landasan hukum, filosofi risiko, hubungan dengan sistem kontrol mutu lain seperti HACCP, hingga perbandingan aspek teknis seperti persyaratan bangunan, personalia, dan dokumentasi.
Landasan Hukum dan Kerangka Regulasi
3.1. Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik (CPKB)
CPKB adalah pedoman yang mencakup seluruh aspek kegiatan pembuatan kosmetika. Tujuannya adalah untuk menjamin bahwa produk kosmetik yang dihasilkan selalu memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan dan aman bagi penggunanya. Mutu produk kosmetika sangat bergantung pada bahan awal, proses produksi, pengawasan mutu, bangunan, peralatan, dan personel yang terlibat.
Landasan hukum utama untuk penerapan dan sertifikasi CPKB adalah Peraturan BPOM Nomor 33 Tahun 2021. Peraturan ini secara eksplisit menyatakan bahwa industri kosmetika wajib menerapkan pedoman CPKB. Kepatuhan terhadap pedoman ini dibuktikan dengan kepemilikan Sertifikat CPKB atau Sertifikat Pemenuhan Aspek CPKB. Industri yang ingin melakukan produksi kosmetik berdasarkan kontrak juga wajib memiliki sertifikat ini.
Sistem regulasi kosmetika di Indonesia terintegrasi secara holistik. Proses registrasi atau notifikasi produk kosmetik dilakukan melalui sistem e-registration BPOM. Untuk dapat mengajukan notifikasi produk, industri wajib memiliki sertifikat CPKB yang masih berlaku. Regulasi BPOM juga mengklasifikasikan kosmetika berdasarkan tingkat risiko, yang memengaruhi tingkat pengawasan. Selain itu, terdapat persyaratan spesifik terkait penandaan atau pelabelan produk yang diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 18 Tahun 2024, yang mewajibkan informasi seperti nama produk, bahan, metode penggunaan, nomor notifikasi, dan tanggal kedaluwarsa dicantumkan dengan jelas.
Pergeseran paradigma dalam regulasi BPOM terlihat dengan adanya sistem perizinan berusaha berbasis risiko (OSS-RBA). Hal ini mengindikasikan bahwa BPOM sedang memodernisasi dan mengintegrasikan sistem pengawasannya di berbagai komoditi, termasuk kosmetika dan pangan, untuk meningkatkan efisiensi tanpa mengorbankan standar keamanan.
3.2. Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB)
CPPOB adalah pedoman yang memberikan arahan bagi industri pangan tentang bagaimana memproduksi makanan yang baik, bermutu, dan aman untuk dikonsumsi. Pedoman ini dikenal juga dengan istilah CPMB atau CPPB-IRT (Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga). Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa makanan yang sampai ke konsumen aman dan layak dikonsumsi.
Perbedaan utama yang menentukan CPPOB adalah posisinya dalam hierarki sistem keamanan pangan. GMP (termasuk CPPOB) secara luas dianggap sebagai prasyarat (prerequisite) atau fondasi yang harus dipenuhi sebelum sebuah industri dapat menerapkan sistem yang lebih canggih, yaitu Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). CPPOB menyediakan kerangka dasar untuk memastikan lingkungan produksi yang higienis, fasilitas yang memadai, dan proses yang terkendali, yang merupakan fondasi esensial bagi sistem HACCP untuk bekerja secara efektif.
Pemerintah, melalui BPOM, secara ketat mengatur pedoman ini untuk menjamin bahwa produk pangan tidak hanya memiliki nilai gizi, tetapi juga aman dari kontaminasi. Prinsip dasar CPPOB, seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 75 Tahun 2010, mencakup 18 aspek, mulai dari lokasi, bangunan, sanitasi, hingga dokumentasi dan penarikan produk. Hal ini menunjukkan cakupan yang sangat luas dan mendalam dalam upaya pencegahan bahaya pangan.
Analisis Komparatif: Inti dan Fokus Pedoman
4.1. Filosofi Inti: Perbedaan Fokus Risiko
Perbedaan paling substansial antara CPKB dan CPPOB terletak pada filosofi inti yang mendasari setiap pedoman, yang secara langsung berkaitan dengan tujuan penggunaan produk dan jenis risiko bahaya yang ditimbulkannya.
- CPPOB (Pangan): Pedoman ini dirancang dengan fokus utama pada keamanan untuk konsumsi internal (ingestion). Bahaya yang diutamakan untuk dicegah adalah kontaminasi yang dapat menyebabkan penyakit bawaan makanan (misalnya, akibat mikroba patogen), keracunan kimiawi, atau cedera fisik dari benda asing. Keamanan pangan dianggap sebagai “persyaratan wajib bagi konsumen, persyaratan tidak tertulis dan tidak dapat ditawar”. Oleh karena itu, seluruh aspek CPPOB, mulai dari sanitasi hingga pengendalian hama, bertujuan untuk memitigasi risiko kontaminasi yang dapat memengaruhi kesehatan internal.
- CPKB (Kosmetika): Sebaliknya, CPKB berfokus pada produk yang ditujukan untuk penggunaan eksternal atau topikal pada bagian luar tubuh manusia seperti kulit, rambut, kuku, atau bibir. Risiko bahaya utamanya adalah iritasi, reaksi alergi, atau ketidakefektifan produk, yang disebabkan oleh formulasi yang tidak sesuai, kontaminasi mikroba yang dapat membusukkan produk, atau ketidakstabilan bahan aktif. Meskipun keamanan juga menjadi prioritas, penanganannya disesuaikan dengan bahaya yang bersifat eksternal, bukan internal.
Perbedaan mendasar ini menciptakan sebuah rantai kausalitas:
- Tujuan Penggunaan Produk (konsumsi vs. aplikasi topikal)
- Jenis Risiko Bahaya yang Paling Relevan (internal vs. eksternal)
- Fokus dan Detail Pedoman (CPPOB vs. CPKB)
Sebagai contoh, persyaratan pengujian klinis untuk produk kosmetik berisiko tinggi mencerminkan kebutuhan untuk memverifikasi keamanan dan efektivitas produk pada kulit manusia sebelum dipasarkan. Hal ini menunjukkan bahwa pedoman CPKB secara spesifik dirancang untuk mengatasi risiko yang unik pada produk topikal.
4.2. Hubungan dengan HACCP
Salah satu perbedaan struktural yang paling mencolok antara kedua sistem ini adalah hubungan kausal antara CPPOB dengan sistem Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP).
- Sinergi GMP dan HACCP pada Industri Pangan: Dalam industri pangan, GMP (CPPOB) dianggap sebagai persyaratan awal atau prasyarat mutlak sebelum sebuah perusahaan dapat menerapkan sistem HACCP. GMP menyediakan landasan dasar seperti kebersihan fasilitas, personalia yang terlatih, dan dokumentasi yang memadai. Setelah fondasi ini stabil, sistem HACCP dapat dibangun untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengendalikan bahaya spesifik yang signifikan terhadap keamanan pangan pada setiap tahap produksi. Sinergi antara keduanya memungkinkan industri untuk bergerak dari pendekatan reaktif (pengujian produk akhir) ke pendekatan proaktif (pengendalian proses) dalam manajemen keamanan pangan.
- Sistem Mutu pada Industri Kosmetika: Meskipun CPKB juga berfokus pada manajemen mutu dan proses produksi yang konsisten , materi yang tersedia tidak menunjukkan adanya hubungan wajib atau prasyarat dengan HACCP seperti yang terlihat pada industri pangan. Pedoman CPKB sudah mencakup sistem manajemen mutu yang komprehensif, termasuk audit internal dan penanganan keluhan produk, yang berfungsi untuk memastikan mutu dan keamanan produk akhir.
Dengan demikian, bagi produsen pangan, investasi dalam CPPOB tidak dapat dipandang sebagai langkah akhir, melainkan sebagai batu loncatan yang strategis menuju implementasi HACCP yang lebih canggih, yang kini dianggap sebagai standar global untuk keamanan pangan.
Perbandingan Aspek Teknis Kunci
5.1. Personalia dan Higienitas
Baik CPKB maupun CPPOB menempatkan pentingnya personalia yang kompeten dan higienis sebagai pilar utama dalam menjamin mutu dan keamanan produk. Karyawan harus mengenakan pakaian kerja yang bersih, tidak memiliki penyakit menular atau luka terbuka, dan memahami prosedur higiene. Pelatihan berkala juga diwajibkan untuk memastikan personel memahami standar dan tanggung jawab mereka.
Meskipun demikian, ada nuansa perbedaan yang mencerminkan fokus risiko masing-masing. Persyaratan higiene dalam CPPOB sangat ketat dan berorientasi pada pencegahan kontaminasi silang dari patogen yang dapat menyebabkan penyakit bawaan makanan. Dalam CPKB, fokusnya adalah mencegah kontaminasi produk yang dapat memengaruhi stabilitas, kemurnian, atau keamanan topikalnya.
5.2. Bangunan dan Fasilitas
Kedua pedoman mensyaratkan desain bangunan dan fasilitas yang memadai untuk meminimalkan risiko kontaminasi dan memudahkan proses pembersihan. Permukaan lantai, dinding, dan langit-langit harus kedap air, mudah dibersihkan, dan tahan terhadap bahan pembersih. Untuk industri kosmetika, denah bangunan harus mendapatkan persetujuan dari BPOM sebagai salah satu syarat untuk sertifikasi.
CPPOB memiliki persyaratan yang sangat spesifik dan detail terkait penyimpanan bahan makanan. Bahan baku tidak boleh menempel langsung di lantai, dinding, atau langit-langit dengan jarak minimum yang telah ditentukan (15 cm dari lantai, 5 cm dari dinding, dan 60 cm dari langit-langit). Selain itu, peralatan pengolahan pangan harus terbuat dari bahan yang tidak larut dalam suasana asam atau basa dan tidak boleh terbuat dari kayu untuk mencegah pertumbuhan mikroba. Persyaratan spasial dan material ini secara langsung terkait dengan upaya pencegahan hama dan kelembaban, yang merupakan risiko signifikan dalam keamanan pangan.
5.3. Pengawasan Mutu dan Dokumentasi
Baik CPKB maupun CPPOB mewajibkan sistem pengawasan mutu yang ketat dan dokumentasi yang lengkap untuk setiap langkah produksi. Dokumentasi ini mencakup seluruh siklus, mulai dari pengadaan bahan baku, proses produksi, pengujian, hingga distribusi produk akhir. Hal ini penting untuk memastikan ketertelusuran (traceability) produk jika terjadi masalah kualitas atau penarikan produk.
Perbedaan fungsi terletak pada detail dokumentasinya. Dokumentasi CPPOB berfokus pada pengendalian proses, terutama pada titik-titik kendali kritis yang diidentifikasi oleh HACCP. Sementara itu, dokumentasi CPKB mencakup Dokumen Informasi Produk (DIP), yang harus dimiliki sebelum mengajukan notifikasi produk ke BPOM. DIP ini menjadi bukti pemenuhan kriteria keamanan, kemanfaatan, mutu, dan penandaan produk kosmetik sesuai dengan klaimnya.
Matriks Perbandingan Detail CPKB vs. CPPOB
| Aspek Perbandingan | CPKB (Kosmetika) | CPPOB (Pangan) |
| Definisi Pedoman | Seluruh aspek kegiatan pembuatan kosmetika untuk menjamin produk memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan sesuai tujuan penggunaannya. | Pedoman bagi industri pangan tentang cara berproduksi yang baik, bermutu, dan aman untuk dikonsumsi. |
| Fokus Risiko | Bahaya eksternal/topikal: iritasi, alergi, atau ketidaksesuaian produk dengan klaim saat digunakan pada kulit. | Bahaya internal: kontaminasi mikroba, kimia, atau fisik yang dapat menyebabkan penyakit saat produk dikonsumsi. |
| Landasan Hukum | Peraturan BPOM No. 33 Tahun 2021. | Peraturan Menteri Perindustrian No. 75 Tahun 2010 dan peraturan BPOM terkait CPPB-IRT. |
| Hubungan dengan HACCP | Tidak ada hubungan wajib atau prasyarat yang eksplisit. | Merupakan prasyarat (prerequisite) untuk penerapan sistem HACCP. |
| Persyaratan Personalia | Kompeten, terlatih, higienis, dan mengenakan pakaian kerja bersih. | Kompeten, terlatih, higienis, dan mengenakan pakaian kerja bersih. Fokus pada pencegahan penyakit bawaan makanan. |
| Persyaratan Bangunan & Fasilitas | Desain yang memadai, mudah dibersihkan, dan minim kontaminasi. Denah bangunan harus disetujui BPOM. | Persyaratan spesifik, seperti jarak penyimpanan bahan baku dari lantai, dinding, dan langit-langit. |
| Persyaratan Peralatan | Peralatan yang dirancang, dipasang, dan dipelihara dengan baik untuk mencegah kontaminasi silang. | Peralatan harus dari bahan tara pangan, tidak berkarat, tidak mengelupas, dan tidak terbuat dari kayu. |
| Fokus Pengawasan Mutu | Menjamin keamanan, mutu, dan klaim produk sesuai dengan formulasi dan fungsinya. | Menjamin keamanan, mutu, dan kelayakan konsumsi, terutama dengan pengendalian titik kritis (HACCP). |
| Proses Sertifikasi | Dibuktikan dengan Sertifikat CPKB atau Sertifikat Pemenuhan Aspek CPKB, yang diatur oleh Peraturan BPOM No. 33 Tahun 2021. | Sertifikasi yang seringkali terintegrasi dengan HACCP dan menjadi bukti kepatuhan terhadap standar keamanan pangan. |
| Dokumentasi Kunci | Dokumentasi lengkap termasuk Dokumen Informasi Produk (DIP) untuk notifikasi. | Dokumentasi lengkap, termasuk catatan produksi dan titik kendali kritis (HACCP). |
Kesimpulan dan Implikasi Strategis
Berdasarkan analisis yang komprehensif, dapat disimpulkan bahwa sistem GMP pada kosmetika dan pangan di Indonesia memiliki perbedaan yang jelas, meskipun keduanya berakar pada filosofi universal yang sama tentang manajemen mutu dan keamanan produk. Keduanya adalah pedoman yang terpisah, dirancang untuk mengatasi risiko yang berbeda, dan diatur oleh kerangka regulasi yang spesifik.
Perbedaan utama terletak pada fokus risiko—internal untuk pangan dan eksternal untuk kosmetika—yang secara langsung memengaruhi detail teknis persyaratan, mulai dari desain fasilitas hingga prosedur dokumentasi. Hubungan yang jelas dan kausal antara CPPOB dan HACCP merupakan pembeda signifikan dalam ekosistem regulasi pangan, menjadikannya sistem yang berlapis dan terintegrasi untuk keamanan konsumsi.
Bagi pelaku industri, pemahaman ini sangat penting untuk pengambilan keputusan strategis. Investasi dalam kepatuhan CPKB tidak dapat dianggap sebagai pengganti atau prasyarat untuk kepatuhan CPPOB, dan sebaliknya. Setiap sektor membutuhkan sistem, pelatihan, dan sumber daya yang spesifik untuk memenuhi pedoman yang berlaku. Peningkatan efisiensi dalam perizinan melalui sistem berbasis risiko BPOM (OSS-RBA) tidak mengurangi pentingnya pemenuhan standar teknis yang ketat dan spesifik untuk setiap komoditi.
Pada akhirnya, kepatuhan terhadap pedoman ini tidak hanya merupakan kewajiban hukum, tetapi juga keunggulan kompetitif yang strategis. Penerapan GMP yang ketat memperkuat kredibilitas produk, membangun kepercayaan konsumen, dan memfasilitasi akses pasar, baik lokal maupun internasional. Oleh karena itu, industri didorong untuk terus berinvestasi dalam pemahaman mendalam tentang manajemen risiko yang unik pada produk mereka dan mengikuti perkembangan regulasi yang dinamis.
Sumber :
Regulasi BPOM https://jdih.pom.go.id/

