Apakah Program PMR berlaku untuk Jasaboga?
Penerapan Program Manajemen Risiko (PMR) BPOM: Studi Kasus di Berbagai Skala Usaha Pangan di Indonesia
Pendahuluan
Sejak diberlakukannya Peraturan BPOM No. 10 Tahun 2023 tentang Program Manajemen Risiko (PMR) Pangan Olahan Risiko Tinggi, semua pelaku usaha pangan diwajibkan menerapkan sistem keamanan pangan berbasis risiko. Regulasi ini bertujuan memperkuat ketelusuran, pencegahan kontaminasi, serta memastikan mutu produk pangan yang beredar di pasar domestik maupun ekspor.
Namun, satu tantangan besar muncul: standar yang sama diterapkan pada skala usaha yang sangat beragam, dari usaha rumahan hingga konglomerasi industri. Artikel ini membahas hasil studi kasus penerapan PMR di empat kategori usaha — mikro, kecil, menengah, dan besar — untuk memahami dinamika, tantangan, dan strategi sukses di masing-masing level.
1. PMR dan Konteks Regulasi
BPOM menerapkan satu standar Sistem Manajemen Keamanan Pangan Olahan (SSMKPO) tanpa membedakan ukuran usaha. Meski demikian, terdapat mekanisme IP-PMR Bertahap bagi usaha mikro dan kecil agar dapat menyesuaikan implementasi dengan kapasitas sumber daya mereka. Semua produsen pangan risiko tinggi wajib memiliki sertifikat PMR paling lambat 13 September 2024.
Dalam praktiknya, skala usaha sangat memengaruhi kemampuan teknis, finansial, dan manajerial untuk menerapkan sistem PMR. Oleh karena itu, pendekatan yang berbeda diperlukan untuk memastikan efektivitas dan keberlanjutan implementasi.
2. Studi Kasus Berdasarkan Skala Usaha
a. Usaha Mikro – Keripik Singkong “Ibu Sari”
Usaha rumahan di Yogyakarta dengan modal Rp 25 juta ini memproduksi keripik singkong berkemasan vakum. Keterbatasan SDM (2 orang) dan pencatatan manual menjadi kendala utama.
Melalui skema IP-PMR Bertahap dan pendampingan konsultan, usaha ini berhasil memperoleh sertifikat PMR dalam 18 bulan. Dampaknya signifikan: omzet meningkat 40% dan produk menembus pasar ritel modern.
Pelajaran utama: Pendampingan dan kesederhanaan sistem menjadi kunci keberhasilan usaha mikro.
b. Usaha Kecil – CV Bakso Mas Yanto
Produsen bakso di Malang dengan aset Rp 200 juta menghadapi tantangan upgrade fasilitas dan pelatihan SDM. Dengan investasi Rp 80 juta untuk sistem HACCP sederhana, perusahaan meraih IP-PMR dalam 14 bulan.
Penerapan PMR membuka akses ke pasar modern trade dan meningkatkan omzet hingga 60%.
Pelajaran utama: PMR dapat menjadi instrumen pertumbuhan, bukan beban biaya, jika direncanakan dengan baik.
c. Usaha Menengah – PT Bumbu Nusantara
Perusahaan bumbu instan beromzet Rp 35 miliar/tahun ini telah memiliki ISO 22000, namun perlu adaptasi ke SSMKPO BPOM.
Melalui gap analysis, pembentukan tim PMR, dan integrasi sistem digital untuk traceability, sertifikasi diperoleh dalam delapan bulan. Efisiensi operasional meningkat 15%.
Pelajaran utama: Integrasi sistem yang ada dengan standar BPOM mempercepat proses sertifikasi dan memperkuat daya saing ekspor.
d. Usaha Besar – PT Indofood Sukses Makmur
Sebagai konglomerat pangan dengan 40 pabrik dan 50.000 karyawan, Indofood menghadapi kompleksitas harmonisasi antara standar global (BRC, SQF) dan SSMKPO.
Solusinya: pembentukan PMR Corporate Center, digitalisasi sistem audit, dan sertifikasi internal massal.
Investasi Rp 200 miliar menghasilkan zero major non-compliance dan peningkatan efisiensi rantai pasok sebesar 20%.
Pelajaran utama: PMR menjadi competitive advantage, bukan sekadar kewajiban regulatif.
3. Analisis Lintas Skala
| Skala Usaha | Investasi | Durasi Implementasi | Tantangan Utama | Dampak Bisnis |
|---|---|---|---|---|
| Mikro | Rp 5–15 juta | 18–24 bulan | SDM & dokumentasi | Akses pasar formal |
| Kecil | Rp 50–100 juta | 12–18 bulan | Modal & sistem | Peningkatan distribusi |
| Menengah | Rp 200–500 juta | 6–12 bulan | Integrasi sistem | Efisiensi & ekspor |
| Besar | Rp 50–200 miliar | 3–8 bulan | Harmonisasi & kompleksitas | Inovasi & kepemimpinan industri |
Insight utama: Satu standar PMR tidak berarti satu strategi implementasi. Pendekatan harus disesuaikan dengan kapasitas dan konteks usaha.
4. Faktor Keberhasilan dan Best Practices
Komitmen Manajemen – Food safety harus menjadi nilai inti, bukan hanya kepatuhan.
Pendekatan Bertahap – Mulai dari sistem dasar, lalu berkembang seiring peningkatan kapasitas.
Kemitraan Eksternal – Konsultan, asosiasi industri, hingga lembaga riset terbukti berperan penting.
Dokumentasi yang Konsisten – Mulai sederhana, namun harus tertib dan terus ditingkatkan.
Orientasi ROI – PMR membawa nilai tambah melalui efisiensi, kepercayaan konsumen, dan akses pasar.
5. Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan
Implementasi PMR membuktikan bahwa keamanan pangan dapat dicapai di semua level bisnis, asalkan dukungan ekosistem tersedia. Pemerintah, lembaga keuangan, asosiasi industri, dan akademisi perlu berkolaborasi dalam:
Menyediakan guidelines dan pelatihan sesuai skala usaha,
Mengembangkan skema pembiayaan berbasis kepatuhan,
Mendorong digitalisasi dan inovasi sistem keamanan pangan,
Memperkuat jejaring auditor dan konsultan PMR nasional.
Kesimpulan
Program Manajemen Risiko (PMR) menjadi pemersatu sekaligus pembeda dalam industri pangan Indonesia. Ia menyetarakan kesempatan usaha kecil dan besar untuk bersaing secara sehat, sekaligus menegaskan siapa yang benar-benar berkomitmen pada keamanan pangan.
Dengan komitmen, pendampingan, dan strategi bertahap, PMR dapat menjadi motor peningkatan daya saing pangan nasional di era globalisasi.
[aj]
Referensi: Review Regulasi BPOM no. 10 Tahun 2023

